Dr. Muhammad Syukri Albani Nasution, MA.
Sekretais Umum MUI Kota Medan
Anak akan menjadi tulang punggung dasar bagi masa depan bangsa. Karakter pendidikan terhadap anak akan menjadi bingkai masa depan tersebut. Inilah yang menjadi alasan dasar mengapa pola pendidikan terhadap anak harus menjadi acuan dasar mengembangkan kehidupan berbangsa.
Apa yang salah dengan pendidikan, semakin tinggi tingkat pendidikan anak bangsa, terasa semakin hilang karakteristik pendidikan di diri anak bangsa. Prilaku anarkis, amoral, tidak menghormati orang tua dan guru menjadi cerminan dasar tingginya kualitas pendidikan tidak bersinggungan dengan tingginya karakter anak bangsa yang secara pancasilais harus beradab dan berbudaya.
Kepintaran tanpa keberadaban akan melahirkan kehampaan nilai di tengah-tengah masyarakat. Keberadaban tanpa kecerdasan pun akan menghilangkan transaksi social yang kontributif di tengah-tengah masyarakat. Itulah mengapa kombinasi kepintaran, kecerdasan dan keberadaban menjadi sangat penting dimiliki setiap anak bangsa.
Sekolah seharusnya menjadi sarana pembelajaran karakter. Tujuan dari pembelajatan bukan hanya meningkatkan kualitas kepintaran dan kecerdasan, tujuan pembelajaran harus mengikat realitas kehidupan. Termasuk kepatuhan, keseganan, budaya menghormati, menghargai, profesionalisme dan menyayangi. Dan ini yang serasa hampa di tengah-tengah dunia pendidikan kita.
Profesionalisme pendidikan mengajarkan kita untuk transparan kepada siswa-mahasiswa tentang proses penilaian, system pembelajaran aktif, sehingga siswa-mahasiswa lupa bahwa menghormati dan menghargai guru juga menjadi bagian dari profesionalisme. Privasi penilaian guru juga bagian dari hak preogatif guru. Sehingga penghargaan dan keberadaban terhadap guru dan sekelilingnya menjadi salah satu yang penting dalam menunjang kualitas pendidikan di Indonesia.
Indonesia dengan berbudaya. Kalimat ini bukan sekedar berlaku pada realitas sosial belaka, slogan tersebut harus mengena pada semua bagian, termasuk ranah pendidikan di Indonesia. Pendidikan karakter adalah penguatan aspek afektif dan psikomotorik siswa. Dan perolehannya melalui rasa dan kesadaran yang utuh dan kombinatif dengan kemampuan nalar dan kecerdasan siswa, sehingga siswa yang cerdas dan dan pintar akan sendirinya membentuk karakter hebat dan sarat dengan kebudayaan yang baik di tengah-tengah komunitasnya.
Jujun S.Suriasumantri dalam Filsafat Ilmu-nya menegaskan bahwa kebenaran dalam pengetahuan bukan semata-mata diperoleh melalui penalaran, termasuk didalamnya rasa, indrawi dan kewahyuan. Dan kesempurnaan proses pencarian keilmuan akan didapat melalui kombinasi semuanya.
Ada empat konsep dasar yang menjadi ukuran terhadap keberhasilan dunia pendidikan terhadap anak. Pertama, learning to know. Dunia pendidikan yang melahirkan peserta didik dari tidak tahu menjadi tahu (know). Sampai disini, peserta didik akan menambah wawasan keilmuannya dan pengetahuannya tentang banyak hal. Kedua, learning to do. Proses pembelajaran yang melahirkan peserta didik untuk bisa berbuat/melakukan. Peserta didik yang bukan hanya tahu, tapi bisa mengerjakannya. Sampai disini, poin keilmuannya bertambah seiring hasil perkerjaannya.
Ketiga, learning to be. Pembelajaran yang melahirkan peserta didik yang creator (menjadi pencipta hasil karya buah dari akumulasi pengetahuannya). Sampai disini, peserta didik akan berkreasi dari ciptaannya tentant keilmuan yang ia miliki. Misalnya, seorang yang berkuliah di jurusan computer, akan bisa menciptakan computer jenis baru yang kebih memberikan kemudahan, dan kecanggihan disbanding ciptaan sebelumnya. Dan yang terakhir adalah learning to how to life together. Sifatnya sangat humanis. Bahwa keilmuan yang dimiliki, tidak hanya melahirkan [ekerjaan dan kreasi, tapi juga memberi kemanfaatan bagi masyarakat luas.
Pembelajaran Aktif
Jika kita mengamati system pembelajaran modern, maka aktivitas kelas bukan lagi sekedar hubungan satu arah, guru bukan sekedar sumber belajar, tapi sudah menjadi media belajar. Kelas menggerakkan aspek afektif dan motorik siswa untuk secara aktif menjadikan dirinya pintar dengan kreativitas dan proses nalarnya. Itulah yang disebut Learning Society (Masyarakat Pembelajar) dengan prinsip everybody is a student, everybody is a teacher. Tidak ada guru yang abadi, dan tidak ada murid yang abadi. Mengalihkan proses belajar mengajar menjadi proses pembelajaran dan masyarakat pembelajar.
Oleh karenanya kelas hanya akan menjadi salah satu media kecil bagi siswa untuk menemukan jati diri penididikan. Sebab suasana dan realitas menjadi media yang lebih besar lagi untuk melahirkan pendidikan. Guru bukan lagi menjadi transfer of knowledge, namun menjadi fasilitator. Sehingga siswa diharapkan mapan dalam berfikir dan bertindak dan bisa melahirkan kedewasaan karakter tersendiri.
Berikut penulis menyarankan cara dan metode pengembangan pendidikan di Indonesia berdasarkan pengamatan dan analisa yang berkembang :
Inilah bagian yang terpenting yang bisa kita evaluasi terkait dengan pembenahan system pendidikan kita. Indonesia Negara yang bebudaya, dan ini menjadi kata kunci terpenting untuk melahirkan siswa yang pintar, cerdas dan berbudaya. Itu pulalah mengapa “kekeringan” suasana karakteristik pendidikan yang berbudaya dan beragama menjadi isu actual di tengah-tengah profesionalisme system pendidikan di Indonesia.
Semoga masyarakat pembelajar Indonesia, adalah masyarakat yang giat menggerakkan semua potensi tempat belajar, mulai dari rumah, peran orang tua hingga suasana belakar di luar menjadi sugesti dan cara untuk meningkatkan karakter belajar anak, termasuk di dalamnya menggerakkan peran orang tua dalam mendukung pendidikan dan karakter hidup anak. Masa depan pendidikan bangsa ini akan terletak pada keinginan yang kuat orang tua memerankan dirinya ikut aktif mendidik anak dengan karakter yang baik dan teladan. Dan simbol keteladanan tersebut akan dimulai dari rumah. Semoga bangsa ini lebih baik kedepannya.