Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Medan meminta pengurus Badan Kemakmuran Masjid (BKM) untuk melakukan pengurusan alas hak tanah-tanah yang telah diwakafkan. Hal ini guna menghindari sengketa tanah hingga berimbas pada pembongkaran pemanfaatan diatas lahan wakaf tersebut.
Hal tersebut dikatakan Ketua Umum (Ketum) MUI Kota Medan, Dr Hasan Matsum, MAg, di acara Penyuluhan tentang upaya penyelesaian sengketa wakaf oleh Komisi Wakaf, Zakat, Infaq dan Shadaqah MUI Kota Medan, Rabu (15/9) di aula kantor MUI Kota Medan.
Hadir sebagai narasumber Ketua Badan Wakaf Indonesia (BWI) Perwakilan Kota Medan, Dr Zulheddi, MA dan Kasi Pengadaan tanah dan Pengembangan BPN Kota Medan, Nurain Nasution, S, SiT, serta dihadiri pengurus BKM dan pengurus MUI Kota Medan.
“BKM inilah yang punya tanggungjawab memohon akta wakaf. Negara ini butuh bukti yang formal, jadi diperlukan data otentik. Paling tidak BKM bisa memohon bantuan ke Pemko dalam pengurusan alas hak tanah wakaf,” ujarnya.
Menurut Hasan Matsum, penyelamatan aset wakaf sangat penting karena melestarikan niat-niat baik orangtua terdahulu yang mana mereka dalam berwakaf betul-betuk mengamalkan ajaran Rasulullah SAW.
Yakni berkata bila anak adam meninggal putus amal nya kecuali tiga hal yakni sedekah jariyah dan itu wakaf atau aset harta yang terhenti kepemilikannya dari pewakaf dan berpindah milik Allah Swt yang nilai pahalanya terus mengalir ke pewakaf, kemudian anak shaleh dan ilmu yang bermanfaat.
“Maka agar kekal wakaf itu, jadi tugas kita untuk melestarikannya dari dua sisi yakni baik dari sisi bendanya atau kemanfaatannya dan dari sisi hukumnya,” kata Hasan Matsum.
Kedua hal itu, lanjutnya sangat penting dan mendukung, karena kekal pun bendanya tapi alas hak benda itu tidak jelas, maka suatu saat nanti kekekalannya bisa putus. Misalnya ada ahli waris yang tidak setuju dan punya cela, maka jadi peluang tanah wakaf berpindah kepemilikan pribadi.
“Hal itu lah banyak terjadi di Kota Medan dan melalui penyuluhan ini akan tahu bagaimana pengurusan alas hak wakaf dari tata cara pendaftaran dan alurnya sampai selesai. Jadi kerja keras kita lah ini seperti lahan perkuburan agar mengurus hak alas tanahnya. Karena sudah banyak yang kita hadapi terkait permasalahan wakaf,” ungkap Hasan Matsum.
Sementara Ketua BWI Perwakilan Kota Medan, Dr Zulheddi, MA, dalam materinya memaparkan, nazhir tanah wakaf memiliki peran sangat penting dalam pengurusan sertifikat tanah wakaf. Kemudian BKM berperan dalam menjalankan operasional masjid.
“Nazhir dan BKM -keduanya- sangat berperan dalam mewujudkan masjid mandiri,” katanya.
Dikatakannya, zaman yang semakin berkembang menjadikan permasalahan wakaf menjadi lebih komplek. Wakaf terbagi menjadi wakaf bergerak dan wakaf tidak bergerak atau wakaf produktif dan wakaf tidak produktif, bahkan lebih dari itu saat ini juga sedang digalakkan dengan satu istilah baru yaitu wakaf uang atau wakaf tunai.
“Dari semua itu, wakaf tanah lebih dominan permasalahannya. Maka dalam pengurusannya hendaknya dapat dilakukan lebih maksimal untuk memperoleh legalitas yang semestinya baik dalam perspektif fiqh maupun hukum nasional. Dengan demikian tanah wakaf dapat lebih dimaksimalkan sebagai masjid tempat peribadatan kaum muslimin ataupun untuk pemberdayaan ekonomi umat dan kegiatan kemasyarakatan lainnya,” kata Zulheddi.
Sedangkan Nurain Nasution, menyatakan, wakaf sebagai salah satu instrumen ekonomi Islam mempunyai potensi besar dalam meningkatkan kesejahteraan sosial umat. Ketertinggalan pengelolaan wakaf di tanah air ini diantaranya adalah pengelolaan wakaf yang cenderung konsumtif, tradisonal dan dengan pemahaman yang “lama”.
Pengelolaan yang semacam ini tidak hanya membuat pengembangan wakaf yang lambat namun juga rentang memunculkan banyak kasus sengketa wakaf.
“Salah satu faktor yang melatarbelakangi adalah keberadaan sertifikasi tanah yang belum maksimal dilakukan oleh para pewakaf, sehingga memunculkan sengketa dan konflik dikemudian hari ketika para pemilik tanah yang mewakafkan meninggal dunia. Beberapa kasus yang mengemuka telah membuktikan bahwa kejadian perselisihan dimulai dari ketiadaan bukti otentik kepemilikan atas tanah yang disengketakan. Hadirnya Undang-Undang Wakaf Nomor 41 Tahun 2004 tampaknya telah memberikan angin segar bagi pengembangan wakaf di Indonesia ini selain telah memberikan pedoman acuan atas penyelesaian kasus-kasus sengketa yang mengemuka,” tuturnya.