Membangun hidup damai dalam suatu negara harus diusahakan oleh semua pihak tidak hanya pemerintah tapi juga masyarakatnya. Karena kedamaian tidak datang dari langit, tapi harus diciptakan dengan nilai kebersamaan.
Hal tersebut menjadi kesimpulan dari beberapa narasumber diacara Muzakarah Komisi Pengkajian dan Penelitian Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Medan, yang dijelaskan Ketua Komisi Pengkajian dan Penelitian MUI Kota Medan, Dr. H. Azhari Akmal Tarigan, M.Ag, kepada Waspada, Selasa (29/3).
Dipaparkannya, dalam muzakarah dengan materi Strategi membangun hidup damai di Indonesia, menghadirkan Guru Besar ilmu IAIN Salatiga, Prof Dr Adang Kuswaya, M Ag dan Dekan Fakultas Ushuluddin Adab dan Humaniora IAIN Salatiga, Prof. Dr Benny Ridwan M Hum.
Untuk materi Prof Adang, dijelaskan Akmal Tarigan, merujuk pada terminologi Al Quran bahwa Al Qruan konsen pada penciptaan kehidupan yang damai dalam masyarakat plural. Kemudian terjemahan dari konkretisasi pesan-pesan Al Qur’an itu tampak pada kehidupan masyarakat di Kota Salatiga yang sangat beragam, multi etnik, multi agama dan disebutkan menjadi miniatur Indonesia.
“Dan di sana sudah mampu menerapkan harmoni kehidupan bersama dalam wujud yang lebih konkrit. Misalnya pembangunan rumah ibadah, kebersamaan hari-hari besar agama yang tidak berkaitan dengan ibadah dan itu hal yang biasa,” katanya.
Sementara dalam paparannya Prof Benny bicara tentang radikalisasi, dengan mengambil kasus atau model yang juga ada di Salatiga. Disadari di Al Qur’an itu ayat-ayatnya tdk mendorong umatnya untuk radikal, tapi Al Qur’an itu berpotensi ditafsirkan, difahami dan bisa melahirkan gerakan-gerakan pemikiran radikal.
Jadi dicontohkan, lanjut Akmal, para teroris bahwa bukti yang tidak bisa terbantahkan mereka memahami ayat Al-Qur’an dengan cara tertentu yang menghadilkan gerakan dan pemikiran radikal. Oleh karena itu dipandang perlu untuk melakukan reinterpretasi ayat-ayat Al Qur’an sehingga memberikan pemahaman yang sebenarnya.
“Misalnya konsep jihad itu salahsatu artinya perang. Tapi bukan satu-satunya makna nya peran, maka para penceramah harus bisa menjelaskan makna jihad sebenarnya. Adakalanya bisa difahami dengan perang bila berhadapan dengan musuh sebenarnya, musuh yg ofensif dan musuh yang menyerang, maka kata jihad bisa digunakan. Tapi dalam kondisi damai dan tentram, jihad makna perang tidak bisa dipakai. Maka jihad harus difahami dengan kesungguhan baik dalam membangun kehidupan ekonomi politik, atau kesungguhan menuntut ilmu,” imbuhnya.