Berikhtiar Dulu Baru Bertawakal

BERIKHTIAR DULU BARU BERTAWAKAL

4 tahun 1 bulan 2 minggu 14 jam 17 menit yang lalu 05 Sep 2020 Artikel2439
Ket Gambar :

Dr. H. Ali Murthado, M. Hum
(Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan MUI Kota Medan)
Ibrahim bin Adham merupakan seorang sufi besar  di zamannya yang lahir di Balk-Afganistan 718 M dan wafat di Arab 782 M. Dalam kitab Risalatul Qusyairiah di kisahkan Ibrahim memiliki seorang murid bernama Syaqiq al-Balkhi seorang pengusaha yang kaya raya.

Setiap mendapat uang banyak, Syaqiq al-Balkhi selalu sedekah.  Suatu ketika Syaqiq al-Balkhi meminta izin kepada gurunya,  untuk tidak mengaji kepada Ibrahim bin Adam karena ia hendak berdagang selama beberapa minggu dan sang guru pun mempersilahkan.

Namun baru tiga hari berlalu, Ibrahim bin Adam dikejutkan dengan kedatangan Syaqiq al-Balkhi kembali. Keheranan menyergap hati Ibrahim bin Adam. Ada apa gerangan sang murid kembali lagi kepadanya bukankah ia memberikan izin kepadanya untuk bekerja beberapa minggu ke depan.

Ibrahim bin Adam pun bertanya, “Wahai muridku ada apa gerangan engkau datang ke sini lagi?”

“Wahai guruku, di tengah perjalanan, ketika aku menyusuri sebuah oase di tengah gurun pasir aku pun melihat seekor burung kecil yang patah sayapnya. Burung kecil ini tak dapat lagi terbang dan mencari makan. Akan tetapi, tiba-tiba dari arah langit datanglah seekor burung besar yang membawa makanan di paruhnya. Burung besar tersebut datang untuk menyuapi burung kecil yang patah sayapnya.”

“Seperti itulah seharusnya manusia berbuat saling menyayangi di antara mereka seperti halnya burung besar yang engkau lihat dalam perjalanan dagangmu, tetapi mengapa engkau kembali ke sini dan meninggalkan perdaganganmu?”

Syaqiq al-Balkhi lalu mengatakan,“Oleh sebab itu aku datang ke sini, karena aku berpikir bukankah Allah yang memerintahkan burung besar untuk menyuapi burung kecil yang patah sayapnya, dan Allah juga mampu memberikanku rezeki di mana pun dan kapan pun aku berada. Aku akan meninggalkan seluruh usaha perdaganganku dan berdiam diri di masjid untuk beribadah kepada-Nya pasti Allah memberikan rezeki kepada seluruh hamba-Nya,”

Ibrahim bin Adam lalu tersenyum dan memberikan nasehat yang sangat bijaksana,

“Apakah engkau mengira dengan engkau beribadah dan meninggalkan usaha perdaganganmu niscaya engkau meraih ridha Allah? Mengapa engkau tidak meniru burung besar yang memberikan makan kepada burung kecil yang patah sayapnya? Burung besar itu berusaha mencari makan dan memberikan kepada burung kecil yang kesusahan. Apakah engkau belum mendengar sabda Rasulullah Saw ‘Tangan di atas (orang yang memberi) lebih baik dari tangan di bawah (orang yang meminta)’?”

Merasa bersalah, Syaqiq al-Balkhi pun terdiam seribu bahasa. Ia pun segera meminta maaf kepada gurunya, Ibrahim bin Adam.

“Ketahuilah muridku, seorang sufi harus mencari derajat yang lebih baik di hadapan Allah dengan usaha terbaik yang dapat ia kerjakan.”

Syaqiq al-Balkhi pun lantas menyanjung gurunya, “Sungguh engkau adalah seorang yang sangat luas ilmunya.”

Tawakal; Berikhtiar Lalu Menyerahkan Semuanya Kepada Allah

Kisah ini memberikan ‘masukan’ kepada kita akan bahwa pada perinsipnya, tawakal tidaklah hanya menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, sebelum ada ikhtiar atau usaha. Ketika kita sudah berikhiar maka apapun hasilnya kita serahkan kepada Allah. Walaupun hasilnya terkadang mengecewakan kita. Namun harus diingat, ketika Allah memberikan kepada kita yang menurut kita tidak sesuai dengan harapan, maka sesungguhnya itulah yang terbaik. Jadi kita harus menyikapinya dengan prasangka baik. Karena boleh jadi di balik itu semua ada ‘sesuatu’ yang kita tidak tahu.

Menyerahkan diri kepada Allah, adalah sesuatu yang harus dilakukan bagi setiap kita. Hubungan kita dengan Allah harus tetap terjalin, karena memang sesuatu yang terjadi itu adalah atas kehendak-Nya. Tetapi jangan pula ketika hasil yang kita dapat memenuhi espektasi kita, kita lupa dengan Allah. Seolah-olah kita yang menghasilkan semuanya itu.

Dikisah yang lain diceritakan, ada seorang pemanjat pohon kelapa. Kali ini ia mengalami hal yang cukup mencemaskan dirinya. Di saat ini memanjat pohon kelapa dan dirinya sudah sampai ke puncak. Tiba-tiba muncul angin kencang. Batang pohon kelapa yang ia panjat mulai bergoyang-goyang dengan kerasnya. Di saat itulah, sang pemanjat kepala bermohon kepada Allah, “Ya Allah, selamatkan lah diriku, jika engkau menyelamatkan diriku maka aku berjanji akan memotong seekor sapi dan dagingnya akan aku bagi-bagi kepada orang yang tidak mampu.”

Demikian ia berdoa kepada Allah, sambil sedikit demi sedikit ia mulai turun dari puncak pohon kelapa itu. Di tengahnya, ia masih berdoa, namun karena angin yang menerpanya tidak sehebat pada saat ia di puncak pohon kelapa tersebut, maka doanya mulai berkurang, “Ya Allah, jika engkau selamatkan diriku, maka aku akan menyembelih satu ekor kambing dan dagingnya akan kubagi-bagikan kepada mereka yang tidak mampu.”

Ia lalu berangsur-angsur turun, namun ketika ketinggian batang pohon kelapa tersebut tidak terlalu tinggi lagi, dan angin mulai tidak terlalu kencang, maka doa si pemanjat pohon kelapa ini berubah kembali, “Ya Allah, jika Engkau selamatkan diriku, maka aku akan sembelih seekor ayam dan dagingnya akan aku bagi-bagi bagi yang membutuhkannya.”

Dan akhirnya pemanjat kelapa itu tidak kembali ke tanah, kedua kakinya menginjak bumi, dan ia berkata, “Untung aku cepat turun dari pohon ini, kalau tidak entah apa yang terjadi.” Lalu ia kembali ke rumahnya, dan seolah-olah tidak ada sesuatu yang terjadi sebelumnya. Ia lupa dengan janjinya dengan doanya yang ia ucapkan pada saat ia sedang ketakutan.

Dua kisah ini menggambarkan kepada kita bagaimana sebenarnya, tingkah laku manusia dalam menyikapi makna tawakal tersebut. Jangan sampai kedua kisah ini muncul dan menjadi perilaku kita.

Kita selalu mengatakan kita bertawakal tetapi ikhtiar yang kita lakukan belum maksimal, atau ketika kita sudah berikhtiar dan bertawakal dan Allah memberikan yang terbaik untuk kita, kita lupa seolah-olah itu hanya kerja kita semata.

Inilah yang harus kita hindari, karena jika kita berikhtiar dan menyerahkan semua hasil kepada Allah, insha Allah, Allah akan memberikan sesuatu yang terbaik untuk kita, walaupun hasil akhirnya tersebut belum memenuhi harapan kita. Namun yakinlah bahwa di balik itu semua ada hikmah yang bisa diambil dalam hidup ini. Semoga!