Mu'tah; Perang Paling Dramatis Sepanjang Sejarah

MU'TAH; PERANG PALING DRAMATIS SEPANJANG SEJARAH

3 tahun 5 bulan 14 jam 18 menit yang lalu 22 Mei 2021 Artikel2335
Ket Gambar : Gambar dari internet

Cerita perang di era Rasulullah bukan cerita mukjizat Nabi dan pertolongan Allah, tetapi bertutur 'mimpi', 'kualitas' 'strategi', 'konsistensi' dan 'doa' para pejuang didikan manusia terbaik sepanjang masa.

Drama perang Badar, Khandaq dan Mu'tah berkisah tentang 'peran' optimal pasukan Nabi dalam porak-porandakan musuh dan memenangkan pertempuran.

3000 banding 200.000 atau 1 banding 66 pasukan bukan hitungan rasional dari sisi jumlah untuk bertarung di medan laga, apalagi tampil sebagai pemenang.

Tapi itulah yang terjadi di perang Mu'tah sebagai respon Nabi atas pembunuhan diplomat Muslim, al-Haris bin Umair al-Azdi yang diutus sampaikan pesan Islam kepada pimpinan Romawi di Basra, Syurahbil bin Amr al-Gassani.

Tiga panglima perang Muslim syahid, yaitu Zaid bin Haritsah, Ja'far bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Rawahah. Akhirnya komando dipegang oleh Khalid bin walid dan membuat pasukan Heraklius kocar kacir hingga memenangkan pertempuran.

Sepertinya Mu'tah merupakan perang paling dramatis sepanjang sejarah karena hasil akhirnya di luar espektasi analis militer saat itu bahkan hari ini. 

Apa rahasia dan bagaimana perang berlangsung hingga pasukan kecil pukul mundur pasukan besar sangat menarik untuk dianalisa, dikaji dan dijadikan cermin demi raih kemenagan dalam setiap laga di masa depan.

Kekuatan utama serdadu Muslim dalam setiap perang di zaman Nabi terletak pada mimpi atau cita-cita yang akan diraih, yaitu shahid. Rindu syahid sebagai pancaran iman yang kuat berdasar pada pandangan bahwa kehidupan dunia hanyalah sarana untuk meraih syahid atau disaksikan Tuhan, manusia dan alam semesta sebagai petarung kebenaran.

Keyakinan itu mendorong lahirnya spirit tak terkalahkan dan upgrade energi berlimpah hingga tampil laksana 'mesin pembunuh' konstitusional, walau satu pasukan Muslis harus berhadapan dengan enam puluh enam pasukan Romawi.

Kualitas atau skill terlatih adalah faktor kedua yang dimiliki pasukan Nabi. Skill perang gurun berpadu dengan kesehatan dan kekuatan fisik membuat pasukan ini tampil bak singa padang pasir dan momok menakutkan bagi lawan.

Ngotot, pantang menyerah walau berkalang tanah, berjibaku, melawan dan menerkam bak harimau lapar membuat mental musuh ciut dan akhirnya lari tungganglanggang dan menangisi kekalahan.

Strategi adalah faktor ketiga yang membuat bala tentara Heraklius tak berkutik. kecerdasan Khalid bin walid membelah pasukan menjadi empat divisi dan mengorganisirnya dengan baik mengirim pesan tersirat kepada Musuh, bahwa seolah Muslim miliki pasukan cadangan yang cukup untuk bertarung hidup mati di arena pertempuran.

Aura ketakutan muncul di kubu lawan, mental mereka jatuh, akhirnya lari dan kembali ke barak menikmati kekalahan sangat dramatis dan menyedihkan.

Konsistensi atau istiqamah adalah nilai dasar lain yang dimiliki pasukan Khalid bin Walid hingga dapat memenangkan pertempuran.

Dalam istiqamah ada sabar dan harap. Sabar dengan keterbatasan yang dimiliki dan memanfaatkannya secara optimal berhadapan dengan lawan yang miliki peralatan lengkap.

Bagaimana mengelola sumber daya (SDM) hingga menjadi kekuatan dahsyat yang menaklukkan hanya dapat dilakukan oleh mereka yang istiqamah.

Tidak mengeluh, tidak alay, tidak minder, tidak ciut dan tidak gentar karena percaya dengan apa yang dimiliki dan siap berlaga dengan pedang terhunus serta teriakan takbir menjemput syahid.

Doa adalah kekuatan kelima yang dimiliki pasukan Nabi. Doa umat Islam makbul dan memenangkan peperangan, karena mereka pantas menerimanya.

Teori kepantasan atau cukupnya ikhtiyar atau usaha yang dilakukan menyebabkan doa dan harapan pasukan Muslim dikabulkan Tuhan.

Jihad pasukan ini mengundang simpati Tuhan, energi mereka menggerakkan, medan magnet yang diciptakan menarik kepedulian dan rahman Tuhan hingga berlaku qudrat dan iradatnya dan umat Islam pantas menang.

Drama perang ini mengajarkan bahwa, jika ingin memenangkan perang apapun dan di manapun, maka upaya 'memantaskan diri' adalah syarat yang tidak terbantahkan.

Jangan pernah berpikir Palestina dan umat Islam menang perang dengan Israel jika asas 'kepantasan' itu belum terpenuhi.

Jika buat senjata mainan saja umat Islam tidak bisa, jangan pernah berpikir hadapi rudal nuklir, walau teriakan takbir anda menggelegar hingga sidratul muntaha dan memekakkan telinga.

Keagungan takbir akan menjelma saat padu dengan ikhtiar sungguh-sungguh dan memahami kepantasan sesuai hukum sunnatullah yang berlaku di alam semesta.

Fa'tabiru...

Penulis:

Dr. Salamuddin Lubis, MA