ms albani
Azan bukan seruan seremonialistik. Adzan adalah pelatihan kepekaan (sensitifitas) memahami perintah dan tujuan. Menjadi seruan yang tidak hanya mengikat ke-awasan pendengaran, dia menjadi nilai lebur memahamkan diri pada kewajiban. Bagi semua orang mu’min azan menjadi instrument meng-akadkan diri pada kesejatian kehambaan-nya.
Bahkan jika sekelompok kecil orang akan melaksanakan salat dirumah disunnahkan azan, seumpama mereka mendengar untuk dirinya sendiri, meski mereka sudah tau masuknya waktu salat. Berarti adzan bukan hanya “alarm” pemberitahu masuknya waktu salat. Dia harus lebih dari itu, sebab azan akan menjadi alasan manusia “bergegas” menuju shafnya. Dan mendapat kemuliaan pula jika berhasil berada pada barisan awal berdekatan imam. Sama dengan harapan semua sahabat untuk bisa tepat berada di shaf pertama-dibelakang Rasulullah- setiap melaksanakan shamat berjamaah.
Awal disyariatkannya terjadi pada tahun pertama hijriyah. Tersebut di dalam hadits Ibnu Umar yang berbunyi:
Kaum muslimin, dahulu ketika datang ke Madinah berkumpul, lalu memperkirakan waktu salat, tanpa ada yang menyerunya. (Hingga) pada suatu hari, mereka berbincang-bincang tentang hal itu. Sebagian mereka berkata “gunakan saja lonceng seperti lonceng Nashara”. Dan sebagian menyatakan “gunakan saja terompet seperti terompet Yahudi”. Maka Umar berkata: “Tidakkah kalian mengangkat seseorang untuk menyeru salat?” Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Wahai, Bilal. Bangun dan serulah untuk salat.”
Azan memiliki rahasia yang sangat dalam. Selain seruannya dengan suara yang keras, azan juga menjadi isyarat perjuangan manusia untuk dirinya, untuk kaumnya, untuk tujuannya dan untuk loyalitas ketuhanannya. Jika azan hanya seruan seremonialistik, maka azan harusnya hanya menjelaskan seruan tekhnis, menyebutkan nama salat, jumlah rokaat, bergeraklah ke masjid terdekat dan sejenisnya.
Azan di awali dari aqad asasiyah-imaniyah “pengakuan”. Allahu akbar-Allahu akbar (akbar-kabiir). Memberi penegasan berulang-ulang Allah itu Maha Besar, tidak dalam bentuk jasadiyah¸kebesaranya melewati alam ukur akal retorik manusia, tidak menembus akal akademik-matematik. Kebesaran Allah tersemat lewat nadhir manusia. Kebesaran yang di-inderakan melalui langit dan bumi. Kebesaran yang bisa diceritakan oleh lisan yang fasih, meski kefasihan lisan tidak akan mampu menggambarkan kebesaran Allah secara sempurna dan hakiki.
Setiap mendengar lantunan Allahu Akbar, kesejatian seorang yang rindu -kehilangan- hakikat tujuannya akan kembali bertaji (lebih tinggi dari rasa semangat). Kepahamanan tentang realitas takdir akan memuncak. Sehingga optimisme akan dominan mengalahkan akal kalkulatif yang suka berhitung tentang energy usaha dan hasil yang mungkin akan di raih.
Gema Allahu akbar akan menjadi isyarat panggilan yang menembus batas ke –aku-an diri. Dia akan menyerang rasa malas, menghabisi rasa sukar, membantai rasa sakit, mematikan rasa penat. Semua manusia akan berdiri-bergegas tegak. Sebab waktu yang akan dihadapi ini tak akan bisa kembali berulang. Akan tinggi penyesalan bila tidak dihabiskan waktu ini untuk mempertegas akad keimanan kepada Khalik yang maha segalanya.
Hilanglah kesia-sia an, manusia akan berjumpa dengan shalat yang sangat eksklusif. Allahu ahad menjadi sebenar-benar tujuan. Hilanglah seremonialistik sebab semua hubungan tertuju pada yang satu. Jika kita makan ke-kantin bukan dalam keadaan lapar, rupanya pemilik kantin telah memantik rasa rindu. Makan ke kantin menjadi sarana, bertemu pemiliknya menjadi satu-satunya tujuan. Tidak tepat kiasan ini. Sebab akal tak mampu bisa penuh mendefenisikan rasa rindu. Rasa rindu yang diterjemahkan lewat lantunan azan.
Panggilan selanjutanya berhubungan dengan akad dan kesaksian (syahadah) yang diseru adalah nurani dan kejiwaan. Jasmani harus mengikut, sebab seruan akad tersebut telah “menyerang” jiwa-kejiwaan- manusia. “Asyhadu An Laa ilaaha Illa Allah.. Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah..”
Pada panggilan adzan yang diseru lantang dan keras dari semua masjid dalam pada setiap masuk waktu shalat di akadkan untuk bersyahadah. Menguatkan kembali akad kehambaan. Loyalitas ber-Islam. Tidak hanya pada hubungan kemanusiaan, terlebih ikatan yang kuat pada hubungan ke-tauhidan (ketuhanan). Kita dipanggil untuk melaksanakan shalat dengan syahadah. Itu sesuatu yang sangat serius-bukan simbolil-.
“Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan Selain Allah.., Aku bersaksi bahwa Muhammad itu Utusan Allah..” dua-dua kali. Wahai manusia yang lalai dan sibuk. Di seru untuk kembali pada Jalan yang benar melalui shalat-mu. Telah masuk waktunya. Diingatkan engkau melalui syahadah yang menjadi akad ke-islamanmu, seharusnya akad ini menjadi jiwa keimananmu. Apapun yang kau kerjakan dalam kehidupan ini, jangan lepas dari nilai dan fungsi dari akad itu. Berwudhu’lah- ambil pakaianmu, ,sempurnakan penutup auratmu. Ber-adablah dalam shalatmu. Hanya karena Allah-lah semua ibadahmu. Laksanakan semuanya atas dasar keimanan-mu.
Panggilan adzan yang lantang berkumandang, tidak pernah melewati waktu-nya. Sesibuk apa-pun manusianya. Jika-pun tak sampai kaki ke masjid, adzan harus menjadi seruan yang I’tiqadiyyah kepada semua muslim, telah sampai berita masuknya waktu shalat, dan sebab itu pula harus bersegera melaksanakan-nya, dan sesempurna shalat dilaksanakan dengan berjamaah.
Tidak simbolik. Adzan bukan panggilan seremony, jangan abaikan seruannya. Jangan hilangkan ghirah telinga mendengarnya. Bahkan Negara-negara minority muslim. Mereka sangat merindukan merdunya adzan yang berkumandang. Bukan sekedar cantiknya suara muadzzin, gelegar ghirah keislaman yang diseru melalui adzan. Sudah lama tak taerdengar adzan yang nyaring. Melintasi setiap sudut rumah. Jikapun adzan berkumandang, adzan yang berbisik-bisik, kecil suaranya, hanya terdengar bilamana kita sampai ke masjid saja. Sudah hilang nikmat-menikmati seruan adzan. Itulah keadaan negeri minority. Irilah mereka dengan kaum yang berada di negeri mayority muslim. Merdua adzan menggema, semua yang mendengar terus tidak menghiraukannya.
Panggilan dengan mengakadahkan kembali dua kalimat syahadah menjadi alasan yang sangat serius bahwa shalat-berjamaah-pada awal waktu- menjadi energy yang sangat kuat untuk membangun kepercayaan diri. Komitmen ber-islam. Membangun agama dan Negara. Sebab semua sudah dipahami menjadi sepenuhnya rancangan Allah. Dan manusia berada dalam –itaran- rancangan tersebut tanpa bisa menyeleweng sedikitpun. Tiada hidup yang sia-sia, jika nilai tidak berwujud di dunia, amal baik terasa tetap tidak menjadikan diri kaya dan hebat. Kesabaran dan terus berbaik sangka kepada Allah menjadi nilai yang mahal. Tidak singgah di dunia. Dia terus menjadi akumulasi di yaumil hisaab. Sebab sabar adalah rezki yang sering kehilangan tempat di alam sadar manusia yang sedang mengalaminya.
Setelah ber aqad dengan syahadat, semua orang beriman terpanggil dengan seruan syahadat. Semua ibadahnya, hidupnya hingga matinya dijalankan atas perintah Allah, dilaksanakan sesuai panduan Rasulullah. Seruan berikutnya ajakan menegakkan shalat. “hayya ala sholat”
Mari menegakkan shalat. Ajakan yang bukan hanya menyentuh ruang ide, tapi harus berbekas pada sikap, kepatuhan. Bersentuhan pada attitude kehidupan. Shalat menjadi media dasar manusia mempertegas keislaman dan keimanannya. Alat ukurnya konsistensi (keistiqomahan). Sentuhannya bukan hanya sekedar ritualistic. Tapi sudah menyerang semua sendi jasmani dan ruhaninya.
Gerakannya dimulai dari “tidak meninggalkan shalat” sebab adzan menjadi symbol ajakan ketaatan. Sebenarnya bukan hanya tentang shalat. Tapi semua gerak hidup manusia yang di mulai dari shalat. Setelahnya, maka semua orang-orang yang shalat akan memakmurkan masjid sebagai tempat shalatnya. Tempat dimulainya keseragaman mematuhi semua aturan- aturan Allah.
Bergegas ke masjid, senang dan bahagia ber-masjid. Masjid sebagai fasilitas semua muslim. Masjid menjadi wadah keberimanan, impelemntasi, ekspresi dan berlindungnya semua muslim. Tidak ada masjid yang eksklusif. Sebab ketika sudah dinamakan masjid, maka didalamnya terpelihara hak Allah yang tidk boleh disekat oleeksklusivisme.
Baguskan shalatmu. Sentuhan fiqh-nya harus sempurna, tidak hanya berhenti pada wilayah yang wajib, yang sunnah dan yang dianjurkan harus menjadi ketegasan betapa shalat menjadi cara orang-orang beriman merindukan Tuhan-nya. Sempurnakan sentuhan itu dengan pendekatan lainnya, tasauf, tauhid, amalan-amalan untuk menjadikan shalat itu sebgai “gerak aktif” mengenali esensi kehambaan, esensi ketuhanan. Yang ketika semua itu sudah didapati. Maka semua manusia akan bertemu dengan ke-paripurna-annya.
Mari menegakkan shalat. As Shalatu mi’rajul mu’min (shalat itu mi’rajnya seorang mu’min). energinya vertical, hadiah dan implementasinya horizontal. Jangan terbalik. Shalat bukan untuk mendapatkan eksistensi dunia. Shalat itu mempertegas bukti kehambaan, mengurai kepatuhan, mempercantik rasa cinta dan kesetiaan. Dan bonusnya adalah eksistensi dunia.
Manisnya shalat bagi orang beriman tidak semata-mata bersentuhan lewan kesaksian lisan. Manisnya shalat itu akn merubah karakter kehidupan, tidak hanya kepentingan pribadi. Tapi justru memantapkan keber-pengaruh-an dirinya pada kebaikan banyak orang. (inna shalata tanha ‘anil fakhsyaa’I wal munkar).
Falsafah hayya ala shalat menjadi nilai penting dan sangat tekhnis. Karna dari seluruh lafadz adzan hanya kalimat inilah yang mempertegas jenis kepatuhan yang harus dikerjakan. Semoga kita selalu dalam lindungan Allah Swt. Wallahu a’lam.